Sabtu, 17 Juli 2010

30 Hari Lagi

Pada sebuah kebaktian, aku mendengarkan pengumuman berbunyi seperti ini : “Mohon bantu doa, seseorang telah divonis dokter, tinggal 30 hari lagi…”

Pertanyaanku : “Mengapa dokter berani memberi vonis seperti itu? Apa yang bisa dilakukan seseorang yang sudah mendapat vonis … 30 hari lagi meninggal?”

Jawabanku : Saya menulis artikel yang merupakan pertanyaanku bagaimana kita menghapi kematian, salah satu hal yang pasti terjadi dalam hidup manusia, tapi tidak pasti kapan terjadinya! Tulisan ini saya kirimkan ke redaksi Warta Mingguan, sebagai berikut :

21 hari lagi…

Hari Jumat, 9 Mei 2008 seusai bermain musik di kebaktian Bible Study, aku mendengar pengumuman ini. Biasanya, aku tak merespon secara berlebihan, dengan ikut mendoakan mereka yang sakit supaya diampuni dosanya, dan disembuhkan, dan sebagainya. Namun kali ini pengumuman tersebut terbawa sampai waktu aku pulang, naik kendaraan umum (angkot), sebab anakku juga ke gereja jadi dia boncengan dengan Susan, istriku.

Di angkot, sambil menunggu penumpang penuh… aku gelisah mendengar kalimat tersebut. “…bantu doa untuk seseorang yang divonis oleh dokter, 30 hari lagi…”.

Aku berpikir, “koq berani ya dokter memberi keputusan semacam itu? 30 hari ???”. Namun mendadak aku teringat bahwa dulu pernah membaca sebuah artikel yang me-nyatakan, menurut ilmu medis / kedokteran.. secara fisik manusia bisa diketahui akan mati (fisik) sekitar 40 atau 30 hari sebelumnya. Ada “tanda-tanda” dari ilmu kedokteran yang bisa mendeteksi hal tersebut. Mungkin acuan itu yang dipakai para dokter, juga jenis penyakit, ketahanan tubuh yang dialami pasiennya.

Terus, aku merenungkan, bukankah kita semua juga SAMA-SAMA DIVONIS MATI? Tapi sayangnya kita tidak tahu berapa lama “sisa hidup” kita di dunia ini. Aku ter-ingat juga, dulu aku pernah gabung dengan satu tim yang bergerak di bidang penjualan asuransi jiwa. Betapa susahnya untuk menjual suatu produk yang manfaatnya akan berguna bagi keluarga, orang yang dicintainya, jika pembelinya sudah meninggal. Tentu ini perlu kesadaran tinggi dari pembeli tersebut. Bukan berarti jiwanya diganti, tapi setidaknya keluarga yang ditinggalkan “bisa melanjutkan menerima nafkah” dari pihak asuransi.

Salah satu semboyan di kalangan mereka waktu itu adalah : “Kematian adalah sesuatu hal yang pasti terjadi dan kita alami, tapi … belum pasti kapan terjadinya!”

Aku merenung sepanjang perjalanan pulang malam itu. Ya, apa yang kita lakukan kalau mendadak kita “diberi tahu seseorang… misalnya : “ Yosafat, umurmu tinggal beberapa hari, jam, atau menit…”. Apa kita siap? Padahal, kita pasti mati (secara jasmani)… sayangnya, belum ada yang memberi tahu kapan kematian itu kita alami.

Beberapa topik dialog saya dengan istri, anak adalah soal kematian ini. Saya katakan kepada mereka, bahwa sewaktu-waktu kita akan mati, tanpa pemberitahuan, tanpa per-siapan… oleh sebab itu adalah hal yang wajar, maka kita harus belajar “menerimanya mulai sekarang”. Sedih, memang. Menangis, harus. Berduka cita, boleh. Tapi, kehidupan akan berjalan terus. Bumi akan berputar. Kami bertiga harus siap-siap, sewaktu-waktu KEMATIAN memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai dan kasihi, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Satu pengharapan yang saya miliki saat ini, apalagi mengingat kelemahan, cacat tubuhku, dan usiaku yang bertambah, aku beriman pada ayat ini : II Korintus 5:1. “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kedi-aman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.”

Ayat ini sering kuucapkan di hati, kala aku sendiri. Kusadari, dalam tubuh jasmani ini banyak kekurangannya, penyakit, cacat, dan seterusnya. Ayat ini sering menghiburku, dan kukatakan di dalam hati : “Ya, kalau aku meninggalkan “kemah” ku saat ini, di surga nanti, aku akan menggunakan “kemah” yang baru di sana!”. Penafsiranku untuk kemah, memang kuterjemahkan menjadi “tubuh jasmani”ku.

Kembali aku tercenung, setelah turun dari angkot… dan berjalan kaki menuju ke rumahku…. “Berapa siswa waktuku di bumi ini, TUHAN?” Aku hanya bisa berdoa, semoga saudaraku yang mendapat VONIS tadi juga tahu, bahwa kita semua, juga menerima VONIS yang sama, tapi sayang, kami tidak tahu ketepatan waktu itu….

sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Yakobus 4:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar